Hidup di Tengah Pandemi

Gara-gara wabah corona, hidup saya berubah. Yang tadinya tiap hari ngantor jadi harus kerja di rumah. Tadinya makan siang bareng temen-temen kantor sekarang jadi sendiri. Ketemu temen sekarang jadi ga bisa. Sekedar pengen refreshing pun ga bisa karena mall dan tempat rekreasi ditutup sementara.

Yang lebih serius mungkin orang-orang di sekitar saya yang kerjaannya terdampak langsung sama wabah ini. Tetangga kosan harus pindah dan pulang ke rumah karena diliburkan sampai batas waktu yang ga pasti. Sedihnya, saya ga sempat ketemu atau pamitan dengan proper pas mereka pindahan. Di lingkungan kerja suami saya pun rekan-rekannya sudah banyak yang dipulangin.

Yang paling sedih adalah ngebayangin suasana ramadhan tanpa penjual takjil yg biasanya rame dan bikin macet di segala penjuru tempat. Kemungkinan ga ada solat tarawih di mesjid, ga ada solat Ied dan ga bisa mudik. Mudik dari sekarang pun juga ga bisa karena resikonya terlalu besar.

Mungkin wabah corona ini ga berdampak langsung pada saya secara fisik. Dengan usia dan kondisi kesehatan saya yang Insya Allah baik, kalaupun saya tertular bisa jadi hanya gejala ringan atau bahkan tanpa gejala. Tapi saya merasakan betul kondisi ini berdampak pada psikis saya dan mungkin perantau lain yang sedang jauh dari keluarga yang terjebak dalam situasi ini.

Bagi saya pribadi, semua makin terasa berat karena saya harus menjalani itu semua sendiri dan terpisah jarak ribuan kilometer dengan suami tercinta. Belum lagi wacana diberlakukan karantina 14 hari sebelum suami saya kembali bekerja yang otomatis akan mengurangi setengah dari waktu kami bersama.

Tapi bukankah selalu ada hikmah dari setiap kejadian? Saya dengar polusi udara jadi berkurang di seluruh dunia. Dengan kuasa Tuhan, satu dunia bisa geger karena makhluk sekecil itu. Saya seperti diingatkan kalau manusia adalah makhluk yang sangat lemah tapi sering berlaku sombong.

Semoga pandemi ini segera berlalu~

Comments